JANGAN TERPECAH, BERANGKULLAH ( Refleksi Polemik Pernyataan Pastoral PGI Tentang LGBT )
Pengantar
Polemik LGBT kembali mencuat di kalangan gereja usai beredarnya Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT yang memicu pro dan kontra di dalam gereja. Tanggapan pro dan kontra terhadap Pernyataan Pastoral ini banyak beredar di media sosial yang mudah dibaca oleh masyarakat luas baik dari segi Biblika, Ilmu Pengetahuan ataupun norma ( hukum ) dalam masyarakat. Pernyataan Pastoral PGI dan tanggapan-tanggapannya bisa membuat masyarakat awam di dalam gereja mengalami keresahan dan kebimbangan dalam menentukan sikap terhadap isu LGBT.
LGBT adalah sebuah kenyataan dalam kehidupan kita sehingga sebagai orang Kristen tentu kita harus mempunyai sikap yang tegas dan jelas terhadap fenomena ini. Untuk menghasilkan sikap yang diwujudkan dalam tindakan, maka sebenarnya kita sedang menerapkan nilai-nilai kehidupan yang kita anut sebagai orang Kristen. Untuk itu perlu sikap kritis untuk menyikapi Peryataan Pastoral PGI ini beserta tanggapan-tanggapannya agar kita dapat mempunyai sikap yang jelas dan tegas. Bagaimana kita dapat bersikap kritis terhadap fenomena LGBT berdasarkan nilai-nilai Kristiani?
Kristen adalah Pengikut Kristus
Perilaku manusia, adalah sebagian kecil dari yang bissa dilihat dari manusia dan dibaliknya terdapat bagian terbesar dan tidak tampak yang menjadi dasar munculnya perilaku yang bisa dilihat. Secara lebih jelas gambaran perilaku itu adalah sebagai berikut:
Penyataan Pastoral PGI tentang LGBT ini disampaikan kepada gereja-gereja di Indonesia. Gereja dipahami secara umum adalah perekutuan orang-orang yang telah percaya dan menerima keselamatan Allah melalui Kristus. Sebutan Kristen pertama kali diberikan kepada orang-orang di Anthiokhia untuk menyebut sekelompok orang yang mempunyai nilai hidup, pandangan dan tindakan seperti Kristus ( Kis 11:26 ). Identitas ini semestinya tetap menjadi identitas gereja hingga saat ini dalam bersikap dan bertindak termasuk sikap dan tindakan kita terhadap fenomena LGBT. Jadi nilai-nilai yang disuarakan dan diperjuangkan Kristuslah yang menjadi dasar kita bersikap dan bertindak terhadap fenomena LGBT.
Nilai utama yang dianut dan diperjuangkan Kristus dalam pelayanannya kepada dunia adalah kasih. Yesus mengungkapkan kehidupan manusia adalah di dunia ini adalah kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.( Mat 22:37 ). Kasih baik kepada Tuhan maupun sesama menurut Yesus mencakup 3 aspek yaitu hati, jiwa dan akal budi. Dengan prinsip inilah kita bisa menentukan sikap kita kepada kaum LGBT ini. Bukan hanya berdasarkan iman dan perasaan semata, tetapi juga menggunakan akal budi dalam mewujudkan kasih kepada kaum LGBT.
LGBT adalah kependekan dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender yang menunjukkan bahwa istilah LGBT ini terdiri dari kumpulan istilah yang disatukan agar menjadi sederhana dan mudah untuk diucapkan (?). Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender mempunyai definisi-definisi tersendiri dan di dalamnya memuat ciri-ciri tersendiri. Namun demikian kita sering kali menyederhakannya dengan menyebutnya sebagai waria yang sering digambarkan ( di TV dan Film ) sebgai lelaki yang berpenampilan, bersikap dan bertindak seperti perempuan ( atau sebaliknya ). Seharusnya kita menyadari bahwa masalah LGBT tidaklah sesederhana itu, fenomena LGBT sudah menjadi kajian ilmiah bertahun-tahun dan menghasilkan banyak sekali kajian-kajian baik dari segi medis ataupun psikologi.
PGI menyatakan bahwa Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT didasarkan atas studi dan kajian yang mendalam. Maka kita bisa memberikan pertanyaan kepada PGI untuk menjelaskan studi dan kajian PGI ini. Apakah PGI sudah menggunakan hasil-hasil riset ilmu pengetahuan yang terbaru ( baik dari dunia medis dan psikologi ) sebagai dasar analisa ? Sumber-sumber apa saja yang digunakan PGI sebagai dasar studi dan kajian tentang LGBT? Pencantuman referensi-referensi riset terbaru tentang LGBT sebagai lampiran Pernyataan Pastoral PGI akan memudahkan siapapun untuk memberikan tanggapan yang jernih dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Perang Ayat Alkitab
Dalam tanggapannya ( baik pro ataupun kontra) terhadap Pernyataan Sikap PGI ini selalu menggunakan (ayat-ayat) Alkitab sebagai dasar argumen. Sebagai orang Kristen, tentu kita sepakat bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan yang diberikan kepada kita untuk menuntun langkah dan tindakan kita ( Maz 119:105 ) termasuk dalam mensikapi fenomena LGBT. Perang ayat ( dan juga tafsiran ) Alkitab oleh pihak yang pro dan kontra malah membuat jemaat awam bukannya dikuatkan malah sebaliknya menjadi bimbang dan bingung.
Inilah salah satu ayat yang dijadikan sebagai “senjata” baik yang pro maupun kontra LGBT untuk mendukung pendapat masing-masing.
Kejadian 1:27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Ayat inilah yang sering dipakai sebagai dasar untuk menolak keberadaan LGBT karena dengan jelas menyatakan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. LGBT adalah sebuah penyimpanga dari kehendak Allah yang berarti dosa dan Allah membenci serta menolak dosa.
Di pihak yang berseberangan mengajak kita untuk melihat dengan lebih kristis agar dapat menemukan “pesan utama” yang ingin disampaikan oleh penulis Alkitab. Dari kalimat di atas, terlihat dengan jelas bahwa manusia itu adalah ciptaan yang istimewa karena diciptakan menurut gambar Allah. LGBT tidak menghilangkan fakta bahwa Sebelum menciptakan laki-laki dan perempuan Allah terlebih dahulu menciptakan “manusia yang segambar denganNya”. Jadi kapan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan? Jika konsisten menggunakan Alkitab sebagai satu-satunya dasar untuk menolak keberadaan LGBT, maka kita perlu mencermati kelanjutan kisah penciptaan seperti tertulis dalam Kejadian 2.
Kej 2:7 ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
Ayat ini jelas menyatakan bahwa Allah pertama kali menciptakan manusia. Apakah jenis kelamin manusia pertama ciptaan Tuhan ini? Sebagian besar tafsiran lama yang banyak diikuti hingga sekarang ( terutama pihak penolak LGBT ) tentu mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia pertama sebagai laki-laki (Adam). Namun dalam ayat ke 22 dan 23 berikut menyatakan bahwa:
Kej 2:22-23 Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. 23 Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki."
Jadi jika diurutkan secara kronologis waktu, maka pertama kali Allah menciptakan manusia, kemudian perempuan dan laki-laki baru disebut Alkitab setelah Allah mengambil tulang rusuk manusia dan membentuknya menjadi manusia perempuan.
Perdebatan dan perang ayat ini malah mengaburkan pesan utama Alkitab bahwa setiap manusia diciptakan menurut gambar Allah dan Allah sangat mengasihi segala manusia ciptaannya. Jadi bagaimana sikap kita melihat perang ayat antara pihak yang pro atau kontra LGBT ini?
Kita perlu meyadari bahwa Alkitab adalah sebuah tulisan “kesaksian iman” yang ditulis oleh seseorang yang diilhami oleh Roh Allah. Sebagai tulisan manusia, maka Alkitab senantiasa dipengaruhi oleh konteks penulis dan lingkungannya. Alkitab dimaksudkan untuk menumbuhkan, merawat dan membangun iman dan tidak pernah dimaksudkan sebagai tulisan ilmiah ( sains ) yang berisi kebenaran ilmu pengetahuan. Tidak jarang Alkitab justru menyajikan gambaran yang berbeda dengan riset ilmu pengetahuan terbaru. Bukankah Galilieo pernah dihukum mati dengan meminum racun oleh gereja setelah menyatakan bahwa bumilah yang mengitari matahari yang berbeda dengan keyakinan iman ( berdasarkan Alkitab ). Itulah sebabnya kita perlu berhati-hati dan membuka diri terhadap tafsiran-tafsiran Alkitab yang ada dan tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan terhadap tafsiran suatu ayat termasuk ayat yang digunakan dalam argumentasi dalam diskusi tentang LGBT. Kita perlu bersikap kritis terhadap pihak-pihak yang memberikan klaim bahwa penafsiran Alkitab mereka sebagai yang paling benar dan tidak memberikan ruang bagi pihak lain untuk memberikan pandangan yang berbeda.
Kalau kita menyakini dan berkehendak untuk menjadi pengikut Kristus, tentu kita perlu melihat bagaimana Yesus menggunakan Teks Suci untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan di dalam masyarakat. Yesus sebagai orang Yahudi tentu saja mendasarkan hidupnya pada Firman Allah yang dinyatakan dalam kesaksian penulis kitab-kitab Perjanjian Lama. Namun dalam kesaksian Injil kita bisa melihat bahwa Yesus tidak mau terikat secara “kaku” dengan apa yang tertulis dalam Kitab Suci. Dalam beberapa kesempatan Yesus melakukan dan mengajarkan hal-hal yang berbeda dengan pemahaman sebagian besar tokoh agama pada masanya. Dalam beberapa peristiwa Yesus bergaul dengan orang-orang berdosa seperti pemungut cukai, penzinah bahkan mengunjungi dan bergaul dengan orang Samaria. Yesus juga membiarkan muridnya bekerja di hari Sabat, memberikan penafsiran baru tentang puasa dan masih banyak lagi. Bagi Yesus memang benar bahwa : Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.( Mat 4:4), namun dalam kesempatan lain Yesus juga mengingatkan bahwa : Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat ( Markus 2:27).
Yesus lebih memilih kasih sebagai nilai tertinggi kehidupan yang perlu diperjuangkan sehingga setiap manusia bisa merasakan, mengalami dan mewartakan kasih itu dibandingkan dengan menggunakan ayat-ayat Teks Suci dengan kaku sehingga justru menghalami manusia merasakan dan mengalami kasih Allah itu. Yesus terlebih dahulu menjumpai setiap orang hingga merasakan kasih Allah terlebih dahulu karena perjumpaan dengan kasih Allah itulah yang mendorong orang untuk mengalami perubahan dalam kehidupannya.
Perjumpaan dan Perangkulan
Polemik tentang LGBT menyadarkan kita bahwa sejatinya gereja sudah terpecah-pecah. Gereja yang sebenarnya bermakna sebuah persekutuan, kini tersekat-sekat oleh perbedaan pandangan teologi, ajaran dan banyak hal. Seruan PGI kepada gereja-gereja tentang LGBT sebenarnya mengingatkan kembali bahwa hakikat iman Kristen adalah kasih, kasih yang mempersatukan manusia kepada Allah dan kepada sesamanya.
Yesus memberikan gambaran yang indah tentang kasih ini melalui Perumpamaan Anak Yang Hilang. Seorang Teolog bernama Miroslav Voft mengambarkan kasih Allah ini dengan kasih pada dasarnya adalah proses perangkulan yang menyatukan. Dalam penerapannya, Volf membagi proses kasih dalam perangkulan itu dengan 4 tahap sebagai berikut
Membuka Tangan
Perangkulan dimulai dengan membuka tangan. Membuka tangan berarti membuka diri sendiri kemudian melangkah keluar dari ruang nyaman masing-masing untuk membuka diri dan mengambil resiko mengalami rasa sakit, rasa tidak nyaman. Semua pihak harus memulai membuka tangan mereka dan terbuka satu dengan yang lainnya
Setiap saat pihak-pihak di dalam gereja ( baik yang pro ataupeun kontra ) dan penyandang LGBT harus bersedia membuka diri mereka dari perbedaan pendapat, keyakinan dan nilai hidup. Membuka tangan juga berarti tidak melindungi diri sama sekali, sangat penting untuk dihayati oleh setiap orang yang hendak mengasihi dan merangkul. Membukatangan berarti membiarkan diri terbuka terhadap perbedaan yang terkadang menyakitkan untuk diungkapkan karena ada luka-luka di sana.
Menunggu Secara Aktif Tanpa Paksaan
Tahap kedua dalam pendekatan “Perangkulan” ini adalah menunggu respon tawaran kasih. Menunggu tidak hanya diam menanti respon dari pihak lain, tetapi turut aktif mencari dan mengupayakan tanggapan. Sama seperti Bapa yang sennantiasa bersiap di depan rumah menantikan kedatangan putra bungsunya yang pergi meninggalkannya. Gereja ( beserta anggota-anggota gereja ) tidak bisa hanya berdiam diri, namun harus aktif menyapa dan melakukan pendampingan bagi penyandang LGBT beserta keluarganya. Sebaliknya penyandang LGBT juga diharapkan dengan aktif mencari kebenaran hidup yang harus diberlakukan dalam kehidupannya.
Interaksi: menutup tangan
Berada dan tinggal bersama di dalam sebuah persekutuan dan menyediakan telinga untuk mendengar adalah kunci di tahap sebagai sebuah interaksi. Interaksi dilakukan sehingga dapat mengenali keinginan dan kebutuhan masing-masing pihak secara utuh, maka usaha perlindungan dan pemberdayaan dapat dilakukan.
Keluar: membuka tangan kembali.
Tujuan dalam tahap ini adalah memberi kebebasanan kepada setiap pihak terutama penyandang LGBT untuk tampil menjadi pribadinya sendiri dan tidak terikat pada pengawasan komunitas agama. Keluar, merupakan tindakan melepaskan rangkulan. Rangkulan itu harus dilepaskan untuk membantu penyandang LGBT menjadi pribadi yang matang.
Kesimpulan
Polemik tentang LGBT seharusnya tidak menjadikan gereja terpecah-pecah, namun justru menyadarkan gereja akan tugas dan panggilannya sebagai agen-agen pewarta kasih Allah bagi setiap orang. Kasih Allah yang dinanut sebagai nilai dasar kehidupan akan menyatukan setiap manusia dalam kasih. LGBT adalah keniscayaan dalam kehidupan bermasyarakat yang perlu dirangkul dan merasakan kasih Allah agar hidup mereka berubah untuk dapat merasakan damai dan sukacita. Setiap perbedaan pendapat dan argumen dalam menyikapi persoalan kehidupan seharusnya tidak membuat gereja saling terkotak-kotak dan saling menyalahkan pihak lain karena kita diikat dan dipersatukan oleh kasihNya..
Jamblang, 25 Juni 2016
Post a Comment